Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Kata "agama"
berasal dari bahasa Sanskerta, āgama
yang berarti "tradisi".[1]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi
yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai
umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Definisi
Definisi tentang agama
di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak
terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada
agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu.
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani
manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu
dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki
kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan
keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar
biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar
biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut
sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige,
dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa
manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan
diri, yaitu:
·
menerima segala
kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan
·
menaati segenap
ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dengan demikian, agama
adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3
unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau
ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut
agama.
Lebih luasnya lagi,
agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh
aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya.
Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan
sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.
Definisi menurut beberapa ahli
- Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”.[2]
- Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[3]
Cara Beragama
Berdasarkan cara
beragamanya:
- Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.
- Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
- Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
- Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Unsur-unsur
Menurut Leight, Keller
dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
- Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
- Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
- Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
- Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
- Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
Fungsi
- Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
- Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
- Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
- Pedoman perasaan keyakinan
- Pedoman keberadaan
- Pengungkapan estetika (keindahan)
- Pedoman rekreasi dan hiburan
- Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
Agama di Indonesia
Sesajian di Candi Parikesit,
dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, di tahun 1880-an (gambar dari majalah Eigen Haard)
Enam agama besar yang
paling banyak dianut di Indonesia,
yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan
agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak
penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat
pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan
Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi
pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun
demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu
perkembangan agama-agama tersebut.
Tidak ada istilah agama
yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia,
kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom
agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut
kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap
bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan
beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa
pemerintahan Orde Baru juga
dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian
orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari
agama mayoritas.
Daftar agama-agama
Jumlah pemeluk agama dan kepercayaan di dunia
Agama dan kepercayaan
yang dicantumkan di bawah ini merupakan agama dan kepercayaan dengan jumlah
pemeluk yang signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas di berbagai
belahan dunia juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sebagai
golongan minoritas dan belum dipaparkan. Beberapa agama dan kepercayaan dengan
jumlah pemeluk yang besar antara lain:
·
Berfatwa
Tentang Agama, Bahaya Jika Tanpa Ilmu
– Termasuk kesalahan besar apabila
seseorang mengatakan sesuatu itu halal, padahal dia tidak tahu hukum Allah
tentang itu. Atau mengatakan sesungguhnya ini haram, padahal dia belum tahu
hukum Allah tentang perkara itu. Atau mengatakan ini wajib, itu sunah, ini dari
Islam, padahal dia masih samar dalam masalah tersebut. Hingga mungkin akan
sebaliknya, apa yang dia katakan wajib, sebenarnya di sisi Allah tidak wajib.
Dan yang dikatakan dari Islam, ternyata bid’ah, dan yang dikatakan bid’ah ,
justru itulah Islam. Jadinya kacau. Maka berbahaya sekali seseorang yang
berfatwa tanpa ilmu, di mana dia akan sesat dan menyesatkan orang banyak, dan
secara tidak langsung atau langsung dia telah menjadikan bagi Allah sekutu
(dalam membuat syariat Islam). Firman Allah: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah?” (Asy
Syura: 21).
·
Apakah
mereka tidak tahu, di saat memberi fatwa yang menyesatkan orang dengan
menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah,
bahwa dosanya akan kembali kepada mereka dari orang-orang yang tersesat dengan
fatwanya yang tanpa ilmu tersebut ? Karena besarnya bahaya fatwa tanpa ilmu,
maka Allah mensejajarkan perbuatan berkata/berfatwa atas nama Allah tanpa ilmu-
itu, dengan syirik. Firman Allah Ta’ala: “Katakanlah:
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui”. (Al A’raaf: 33).
·
Sesungguhnya
ada sebagian kaum muslimin yang karena keberaniannya, ketidakshalihan dan tidak
adanya malu kepada Allah dan tidak takut kepadaNya, mengatakan sesuatu yang
jelas haram, dia katakan makruh. Atau hal yang jelas wajib dia katakan sunnah.
Entah karena kebodohannya atau karena kesengajaannya. Atau membuat keragu-
raguan kepada kaum muslimin mengenai syariat Allah.
·
Sikap
orang yang berakal dan beriman, takut kepada Allah dan mengagungkanNya dalam
mengatakan sesuatu yang belum diketahui adalah dengan ucapan “Saya tidak tahu,
akan saya tanyakan kepada yang lain”. Sikap itu merupakan akhlaq orang yang
sempurna akalnya, dan dengan demikian ia sendiri telah bisa mengukur dan
mengakui seberapa kemampuannya.
·
Coba
kita perhatikan sikap Rasulullah, seorang hamba Allah yang paling tahu tentang
agama Allah- di saat beliau ditanya oleh para shahabat tentang roh dan tentang
hari Kiamat. Apa jawaban beliau ? Beliau menunggu jawaban dari Allah yang
berupa wahyu, dan tidak langsung dijawab dengan tanpa ilmu dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Mereka
menanyakan kepadamu tentang Kiamat: “Bilakah terjadinya ?” Katakanlah:
“Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku, tidak
seorangpun yang bisa menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia”. (Al
A’raaf: 187).
·
Untuk
lebih jelasnya perhatikan perkataan Ibnu Mas’ud berikut ini: “Wahai para
manusia, barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui, maka
katakanlah (jelaskan). Dan barangsiapa yang tidak mengetahui tentang ilmu itu,
maka supaya mengatakan, “Allah yang lebih tahu (Allahu a’lam)”. Sesungguhnya sebagian dari kehati-hatian orang
yang berilmu adalah mengatakan sesuatu yang belum diketahui dengan perkataan :
“Allah yang lebih tahu”.
·
CONTOH
FATWA TANPA ILMU
·
Berikut
ini sebagian dari contoh fatwa yang tanpa ilmu dan menyesatkan. Bahwasanya
orang yang sakit dan pakaiannya kotor kena najis dan tidak mungkin untuk
mensucikannya karena suatu hal, ada yang menfatwakan bahwa si sakit tersebut
tidak perlu shalat sehingga suci pakaiannya.
·
Ini
adalah fatwa bohong, salah dan bathil. Yang benar adalah, orang yang sakit
tersebut tetap berkewajiban shalat, sekalipun di badannya ada najis yang tidak
bisa dihilangkan, karena Allah telah berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu”. (At-Taghabun: 16).Berikut ini sebagian dari
contoh fatwa yang tanpa ilmu dan menyesatkan. Bahwasanya orang yang sakit dan
pakaiannya kotor kena najis dan tidak mungkin untuk mensucikannya karena suatu
hal, ada yang menfatwakan bahwa si sakit tersebut tidak perlu shalat sehingga
suci pakaiannya. Ini adalah fatwa bohong, salah dan bathil. Yang benar adalah,
orang yang sakit tersebut tetap berkewajiban shalat, sekalipun di badannya ada
najis yang tidak bisa dihilangkan, karena Allah telah berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu”. (At-Taghabun: 16).
·
Jadi
orang yang sakit bisa shalat sesuai keadaan dan kesanggupan dia mengerjakannya.
Jika sanggup, dia shalat dengan berdiri. Jika tidak bisa shalat dengan berdiri,
maka shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan duduk, bisa shalat dengan
berbaring dan berisyarat dengan kepalanya. Apabila tidak sanggup berisyarat
dengan anggota badannya, sebagian orang yang berilmu mengatakan, bisa shalat
dengan isyarat matanya. Apabila dengan matanya tidak bisa, berisyarat dengan
hatinya, dan niat dalam hatinya itu mengerjakan perbuatan shalat (shalat dalam
hatinya di waktu sudah tiba waktu shalat).
·
Dengan
sebab fatwa yang bohong dan salah seperti contoh di atas (si sakit tidak perlu
shalat sehingga suci pakaiannya), banyak kaum muslimin yang mati dengan
meninggalkan shalat karena fatwa ini. Dan masih banyak lagi fatwa yang ngawur dan bohong dengan tujuan
meraih popularitas di masyarakat atau untuk meraih kedudukan,
jabatan, atau lainnya.
·
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengingatkan kita dengan
sabdanya: “Barangsiapa mempelajari
ilmu untuk bermegah-megahan di antara ulama’ atau untuk membantah orang-orang
bodoh, atau untuk mengambil simpati orang banyak kepadanya, maka ia akan
dimasukkan ke dalam Neraka”.(HR. Turmudzi).
·
Umat
ini butuh kepada ulama di setiap waktu dan tempat. Karena umat tanpa ilmu dan
ulama’ akan hidup dalam angan-angan, kerusakan dan kegelapan. Jadi dengan
adanya fatwa-fatwa dari sebagian orang yang dianggap ulama’, dengan
fatwa-fatwanya yang tanpa ilmu, maka akan sirnalah harapan umat untuk
mendapatkan penuntun adil di dunia ini, untuk mengantarkan mereka agar selamat
di hari Kiamat nanti.
·
Seseorang
dianggap ulama’ karena kematangan ilmunya dalam agama. Dan seorang ulama’ yang
benar-benar ulama’, tidak akan berfatwa tanpa ilmu, atau dengan hawa nafsunya.
Karena mereka penerus dan pewaris da’wah para Nabi.
0 komentar:
Posting Komentar